Pele


“Aku gak mau tau ya, Uta. Kau bilang tadi dekat lokasinya tapi sampai sekarang gak sampe-sampe kita. Pokoknya harus pulang kita,” tuntutku.

“Iya. Selo kau,Jos. Sikit lagi sampenya, cuma bikin napuran, anggir sama rokok ininya kita ke kuburan Opung Luhut. Siap itu langsung pulang,” kata Uta meyakinkanku.

Bodoh kalau aku tertipu dua kali, batinku. Setengah mati aku menyesali keputusanku menemaninya ke Harangan. Hanya karena semangkuk mie gomak kugadaikan diriku. Aku terus merutuk sambil mengikutinya.

“Uta, tunggulah aku. Ya Tuhan. O Uta … ,” teriakku frustasi. Aku berlari lebih kencang setelah mendengar suara mendesis di balik pohon.

Uta sudah jauh sekali di depan. Dia melenggang dengan tangan membawa plastik sajen. Menoleh pun dia tidak. Tukkik. Makiku lagi dalam hati.

Aku berlari mengejarnya sambil membawa plastik berisi bunga tabur dan jerigen parsuapan. Berat bukan main. Diperbudak aku bah. Dia yang perlu aku yang capek, batinku. Baru kusadari setelah perjalanan jauh.

Hari semakin sore, kuburan Opung Luhut tidak juga tampak. Uta babi. Makiku akhirnya di dalam hati.Jangan sampai ‘ada’ yang dengar bisa-bisa mulutku mencong karenanya.

“Aduh matilah aku,Uta. Mau kencing celana aku. Banyak kali lagi suara-suara, “ repetku lagi.

“ Kencingkanlah kencingmu. Aku di pohon itu duduk bentar,” katanya sambil merogoh kantungnya. Dikeluarkannya kertas putih. Mulutnya merapal sesuatu.

“Gak mau aku kencing di sini. Adanya kurasa longor-longormu. Bicara aja gak bisa sembarangan di harangan apalagi kencing. Habislah aku diseret Memmeng.”

“Terserahmu,” jawabnya pendek.

Uta masih sibuk merapal. Aku melihat ke sekeliling. Di keadaan sepi begini, pohon bergoyang dihembus angin pun terlihat menyeramkan. Aku mulai menangis. Tangis karena sesak kencing, takut dan capek mengangkat semua barang perlengkapan ini. Kekesalanku sudah di puncaknya. Dia yang bereksperimen dengan sahala jadi aku yang menderita.

“Bah gitu aja Kau nangis. Satu belokan lagi sampe kita. Penasaran kali aku sama yang dibilang Tulang Lomo. Kau pun kan? ,” terang Uta tanpa merasa berdosa. Dia yang kepo kok aku yang repot. Maupi.

***

“Oh Simangot, hupio, hutonggo jala huhirap ma ho,” ucap Uta serius memanggil arwah Opung Luhut.

Aku ikut jongkok di depan kuburan ini. Sesekali melihat ke sekeliling. Kuburan tua terhampar di depan kami. Banyak yang sudah tidak terawat dan rusak. Termasuk kuburan Opung Luhut.

Suasana disini saja sudah semakin gelap. Apalagi di perjalanan pulang nanti. Makinlah gelap gulita, pikirku. Tak berani aku membayangkannya. Kulihat Uta masih terus merapal.

“Jos, tutup matamu. Aku mau masuk ke doa utama,” hardik Uta tiba-tiba. Terpaksa kututup mataku perlahan.

“Marbusukan angka pinasa di tano-tano ni hapadan. Alogo do nampuna hosa, tano do nampuna badan. Alai ianggo tondina laho do tu parbeguan,” kata Uta dengan khusyuk.

Kuintip sedikit. Uta tampak masih membaca kertas putih yang tadi dipegangnya. Eh dia pun gak tutup mata, batinku.

“Jos, taburkan bunga dan mulai nyalakan rokok." Tuan Besar Uta sudah bersabda.

Bebas kau nyuruh-nyuruh aku sekarang ya, Ta. Rutukku lagi di dalam hati. Tapi kumaui juga perintahnya. Kutabur di atas makam Opung Luhut dan kunyalakan rokok dekat kepalanya.

Sebenarnya aku bingung mana bagian kepala mana kaki karena kuburan ini sudah tidak bernisan. Tapi kudiamkan saja. Aku tidak mau usulku itu berakhir dengan anggukan Uta setuju untuk mencari kuburan yang benar. Yang penting siap.

Kulihat dia mengeluarkan pisau dan anggir. Dibelahnya dan ditaruh di mangkuk yang disiapkannya. Sambil martabas-tabas dituangkan air dari dalam jeringen ke dalam mangkuk itu. Layaknya dukun pro diaduk pakai tangannya dan mulai dia mencuci muka dengan penuh rasa hormat. Mangkuk diarahkan padaku. Kuusapkan juga ke mukaku sekilas.

Ritual terakhir pun dimulai. Tulang Lomo bilang disinilah sahalanya Opung Luhut akan menampakkan wujudnya.

“Kalau kau takut, jangan pernah membuka matamu sampai ritual selesai ya, Jos. Kalau suara sahala semakin besar tiarap saja,” nasehatnya. Terdengar meyakinkan , padahal inipun kali pertamanya.

Dikeluarkannya napuran dan dicelupkan ke mangkuk berisi anggir. Diserahkan padaku dua lembar untuk diletakkan di dada.

“Opung najolo-jolo tubu ro ma, Ho.” Uta meminta simangot datang. Wajahnya menengadah dan tangannya diangkat ke arah langit.

Kami membungkuk di tanah seperti belalang sembah. Entah perasaanku saja kudengar dari kejauhan datang angin gemuruh kencang dan terdengar langkah kaki yang berat dan lambat. Aku ketakutan. Walau mataku tertutup tapi pikiranku sibuk membayangkan sosok yang datang sekarang.

“Arggggggghhhhh,” teriak Uta keras sekali. Aduh, apa ini, batinku. Makin aku menyentuhkan tubuhku ke tanah. Seperti perintah Uta, kuambil posisi tiarap. Mungkin bila disembah begini ‘dia’ akan pergi.

“Bangkit Kau atau enggak, Bodat?” kata suara itu.

Eh, seperti suara yang kukenal. Suara khas Namboru Udur. Aku meyakinkan diri kalau sahala bisa berubah wujud menjadi siapa saja. Kali ini ku lipat tanganku dan aku bangkit dari tiarapku dan mengambil posisi jongkok. Seperti memohon.

Tiba-tiba ada benda seperti sapu lidi menghantam punggungku. Rasanya sakit seperti dicambuk. Kejam sekali Opung Luhut ini, pikirku sambil menahan sakit. Aku tetap menutup mata seperti pesan Uta.

Belum selesai sakitnya tiba-tiba kurasakan lagi sebuah pukulan menghantam pahaku. Sakit tak terperi. Kupaksakan tetap menutup mata. Aku lebih khawatir ritual diulang dari awal dan kami semakin lama pulang.

“Ampun, Namboru. Ampun…,” teriak Uta. Suara Uta berteriak kencang.

Sepertinya dia bertarung dengan arwah Opung Luhut? Aku bertanya-tanya sambil ketakutan. Aku masih diam. Takjub pada ritual ini. Terasa sangat nyata.

Kali ini rambutku ditarik sangat kuat.

“Jos longorrrrrr. Buka matamu. Untung kuikuti kalian dari belakang. Kau mau-mauilah si Uta ini. Sudah lama diongkal Opung Luhut. Bangkit Kau sekarang . Yang kalian sembah itu gundukan tanah, Oto-oto ,” kata suara itu lagi. Kali ini lebih kencang disertai amarah.

Aku masih menunduk dan tutup mata.Kali ini bukan takut tapi malu. Aku tertipu untuk ketiga kalinya hari ini.

Keterangan:
Pele = sembah
Longor, oto = bodoh
Memmeng = hantu
Harangan = hutan
Maupi = mampuslah
Tukkik = pekak, kurang baik pendengaran
Tabas-tabas = jampi-jampi
Marsuap = mencuci muka dengan air bersih
Anggir = jeruk purut
Napuran, Demban = daun sirih
Simangot, sahala = arwah
Ongkal = proses menggali dan memindahan tulang belulang ke bangunan/makam dari batu. Biasanya diiringi dengan upacara adat.

Medan, 4 Juni 2020

Penulis: Maria Julie Simbolon



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kerja dari Rumah? Sekarang Saatnya!

All The Bright Places: Tetaplah Menolong Walaupun Kondisimu Juga Butuh Pertolongan

Asus Vivobook Go 14 , Laptop Ekonomis Terbaik untuk Mahasiswa Produktif