𝐄𝐝𝐦𝐢𝐧𝐮𝐬: 𝐑𝐞𝐚𝐥𝐢𝐬 𝐒𝐮𝐫𝐞𝐚𝐥𝐢𝐬 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐁𝐞𝐫𝐩𝐚𝐝𝐮 𝐊𝐚𝐫𝐞𝐧𝐚 𝐑𝐚𝐬𝐚 𝐋𝐚𝐩𝐚𝐫

Dokumentasi Pribadi Maria Julie Simbolon

Sabtu malam ini berbeda. Aku menghabiskan waktu untuk menyaksikan pertunjukan seni peran di salah satu rumah kreatif dengan tema Jalan Puasa Edminus. Setelah mengikuti semua protokol kesehatan, aku dipersilakan memasuki ruangan teater. Saat menginjakkan kaki, mataku bersirobok dengan sebuah dipan besar berkelambu putih menjuntai.

Dokumentasi Pribadi Maria Julie Simbolon

Kulihat beberapa orang sudah duduk bersila di atas tikar yang sudah disediakan penyelenggara. Dua orang yang kukenal baik di ruangan itu sedang sibuk menyambut para tamu yang hadir, sisanya wajah-wajah asing sedang asyik bercengkrama sambil mengisap cerutu.

Aku mengambil posisi duduk sekitar sedepa dari mereka. Di sebelahku duduk tenang seorang pria berusia empat puluhan. Dia tampak menekuri sarung yang sedang dipakainya. Sesekali dia merapikan rambutnya yang panjang sepinggang. Sekali lagi kulihat dia sedang memegang pelan kakinya yang berbalut perban. Belakangan kutahu kalau dia yang akan mengadakan pertunjukan malam ini. Dari selebaran kutahu kalau namanya Agus Susilo.

Dokumentasi BGCREATIVESPACE sebagai penyelenggara acara.

Kulihat sekelilingku lagi. Di sebelah kanan ada meja operator yang sudah dilapisi dengan kain ulos. Di sisi kiri, ada meja presensi dengan latar lampu berwarna merah.

Jam yang melingkar di pergelangan tanganku sudah melewati angka delapan. Satu per satu orang pun berdatangan. Semuanya mengambil posisi berjarak satu sama lain. Semakin banyak wajah asing lain di sekelilingku.

Aku menyapu sekilas ruangan yang kini mulai penuh. Tanda penuh ditunjukkan jelas dengan buliran keringat yang mengucur deras di hampir setiap wajah dan kening hadirin. Walau asing, aku melihat kesamaan di antara kami. Semua tampak asyik dengan pikirannya sendiri, pakaian yang dikenakan berwarna gelap tanpa janjian terlebih dahulu serta para pria berambut lebih panjang dari biasanya.

Sedari dulu aku selalu suka dengan keadaan yang nyeni seperti ini. Aku selalu merasakan dadaku membuncah kegirangan bila ada di tengah-tengah ruang teater pertunjukan wayang dan seni peran seperti ini.

Dokumentasi Pribadi: Maria Julie Simbolon

Pukul dua puluh lewat tiga puluh menit, dua orang pembawa acara memasuki ruangan lega mirip garasi ini. Setelah beramah tamah sejenak, salah seorang pembawa acara meraih sulim (sejenis seruling) yang sudah diletakkan di sampingnya. Tak butuh waktu lama suara sulim mengalun lembut dan mengisi seluruh ruang kosong di sini. Sulim ditiup seorang perempuan cantik berkarakter kuat. Setelahnya mereka memperkenalkan sosok pria di sampingku ini. Panjang prestasinya sepanjang rambut indahnya.


Karya pertama berjudul Edminus Mau Jadi Presiden, karya selanjutnya semacam sekuel dari kisah hidup Edminus. Ada juga karyanya yang berjudul Edminus Mau Jadi Tuhan. Dari narasi yang dibacakan, kutahu dia memberi perhatian dan kepekaan lebih kepada kondisi sosial masyarakat di sekitarnya.

Selesai sudah pembawa acara menunaikan tugasnya di awal acara. Si Pelakon segera merebut panggung yang memang disediakan untuknya. Dia berjalan tertatih-tatih menuju panggung  yang tak lain dipan besar berkelambu menjuntai.

Ruangan seketika berubah temaram. Si Pelakon sudah memasuki alam Edminus. Di tangannya sudah ada sebuah gulungan perban berwarna putih bersih. Dia membuka dan melilitkannya ke tiga tiang di sekitar dipan.

Edminus yang belakangan kutahu adalah @minus_ dibaca et minus anderskor, adalah seorang anak cacat yang dianggap sampah oleh sekitarnya. Kehidupan memang tak pernah tanggung-tanggung kepadanya, selain cacat, Edminus adalah anak seorang tak berpunya.

Di bulan puasa ini dia menyampaikan segala kegelisahan yang sudah ditahannya sejak lama kepada penciptaNya.

“Aku akan selalu mencintaiMu seperti pecahan beling. Cintaku memanglah kecil karena hanya cintaMu kepada hambaMu ini yang besar.”

Begitu kira-kira asa pembuka lara hati Edminus. Mendengar jeritan hati Edminus, bapaknya berusaha menenangkannya.

“Jangan takut dengan kemiskinan, Minus. Kemiskinan akan membuatmu kuat dan tahan banting menghadapi kegilaan dunia ini. Kau tahu, Minus? Hanya orang yang berani menghadapi kemiskinan terus-menerus menjadi orang besar, Minus. Lihatlah bapakmu ini. Walaupun bapak tak bisa berbuat apa-apa lagi, Bapak tetap bangga pernah punya cita-cita.”

Edminus semakin meradang. Dia menangisi hidupnya yang malang. Dia meneriaki ketidakadilan kepada dirinya yang susah mencari pekerjaan. Dia menangisi hidupnya yang terus menerus berlapar-lapar diri di bulan lain selain bulan puasa. Hal lain yang paling setia di hidupnya selain kemiskinan adalah rasa laparnya yang tak kunjung reda.











Dokumentasi Pribadi: Maria Julie Simbolon

Pertunjukan Edminus dibawakan sekitar satu jam. Batasan antara dunia surealis dan realis yang sangat tipis di dalam lakon ini mampu membius siapa pun yang hadir di sana.

Di dalam diskusi, beragam interpretasi diungkapkan para hadirin. Ada yang beranggapan bahwa perban yang dililit adalah analogi garis hidup yang selalu menuju kematian. Ada yang beranggapan, kelambu yang dililit berulang kali ke tubuh pelakon adalah pertanda beralihnya kenyataan Edminus menuju ketidaknyataan.

Dari mulutnya, Pelakon mengakui kalau Edminus sudah dibawakan di beragam panggung. Di atas dinginnya ubin masjid, di atas peternakan ayam, di sebuah sekolah menengah, dan di berbagai rumah kreatif.

Pelakon mengungkapkan bahwa keinginan terbesarnya adalah mengenalkan dan membawakan teater di luar lingkar para seniman. “Biarkan harapan dan kepekaan orang awam teater tumbuh saat pelakon menghadirkan panggung ke depannya. Seni teater tidaklah eksklusif dinikmati hanya para pelaku dan penikmat seni semata.”

Aku yang menjadi penikmat pertunjukan malam ini berusaha memahami dan menangkap ekspresi dan pesan yang disampaikannya. Edminus adalah alter yang dipilih pelakon sebagai media mencurahkan keresahannya.

Edminus adalah repson pelakon sebagai seorang peziarah puasa. Rumah tak beratap dan tak berdinding yang dipilih Edminus dengan segala keminusannya (baca: kekurangannya) adalah cerminan rumah nonfisik. Dia mengalami pencerahan dan perjalan spiritual yang baru di akhir perjalanannya.

Sesungguhnya aku menanti perjalanan makna dan kerinduan Edminus yang lain. Mungkin Edminus saat menjadi Orang Besar karena terlalu tabah dengan kemiskinannya? Atau akan ada lakon Edminus yang sudah melepaskan jubah keinferiorannya? Hanya Agus Susilo yang tahu. Salam.


𝐏𝐞𝐧𝐮𝐥𝐢𝐬: 𝐌𝐚𝐫𝐢𝐚 𝐉𝐮𝐥𝐢𝐞 𝐒𝐢𝐦𝐛𝐨𝐥𝐨𝐧

 

#Ragam

#30HariBlogBer26

#BloggerMedan

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kerja dari Rumah? Sekarang Saatnya!

All The Bright Places: Tetaplah Menolong Walaupun Kondisimu Juga Butuh Pertolongan

Asus Vivobook Go 14 , Laptop Ekonomis Terbaik untuk Mahasiswa Produktif